(Lanjutan dari bagian pengantar)
Seperti yang sudah saya paparkan di bagian pengantar, ada beberapa kesalahan yang saya temui dilakukan oleh orang-orang tempat saya berkonsultasi khususnya dalam lingkungan pekerjaan. Hal itu memicu saya juga untuk ikut melakukan refleksi terhadap diri saya dan tenyata saya juga sering tanpa sadar melakukan kesalahan yang sama ketika menanggapi rekan saya yang mengutarakan masalahnya. Apa saja?
Tidak mencocokkan level energi dengan lawan bicara
Percakapan lebih dari sekadar pertukaran konten berupa kata-kata, tetapi lebih dari itu, percakapan merupakan pertukaran energi. Menurut buku "The 11 Laws of Likability" respon yang paling ideal dalam menanggapi lawan bicara adalah dengan menemui orang tersebut tidak jauh dari level energinya, lalu membawanya perlahan-lahan ke level energi yang kita inginkan.
Misalnya saja ketika ada lawan bicara kita yang datang dengan suhu yang panas karena suatu masalah. Ada kemungkinan kita makin membuatnya panas dengan mengomporinya. Tentu hal itu tidak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya, ada kemungkinan juga kita membalas dengan dingin seperti berkata "tenang saja hal sepele seperti itu tidak perlu terlalu dipikirkan". Memang seolah jawaban itu bijaksana, tetapi bayangkan perasaan lawan bicara kita, seolah pemikiran dari sudut pandangnya diabaikan dan kekhawatirannya tidak dipedulikan. Itu juga bukan respon yang baik.
Hal yang ideal yang bisa kita lakukan adalah, seharusnya kita mencoba merespon lebih dahulu dengan energi yang tidak jauh berbeda. Ungkapkan bahwa kita juga bisa merasakan dan memahami keterkejutan atau kekecewaan lawan bicara kita. Lalu kemudian perlahan-lahan bawa suasana ke energi yang lebih netral supaya pembicaraan bisa menjadi lebih produktif dan mengarah ke penyelesaian masalah.
Ingin buru-buru memberi saran
Ketika mengangkat masalah khususnya yang bersifat eskalasi kepada orang-orang yang lebih tinggi jabatannya, lebih senior, lebih berpengalaman, dan sebaginya, seringkali saya merasakan minimnya kesempatan saya untuk menyampaikan dengan lengkap konteks latar belakang mengapa saya sampai mempermasalahkan hal tersebut. Seringkali orang-yang-seharusnya-bisa-menolong itu seperti tertantang untuk segera merespon panjang lebar padahal yang baru saya ucapkan hanya kalimat pembuka. Seolah-olah penjelasan panjang lebar hanya dengan mendengar secuil kata-kata kunci itu membuat beliau terlihat kompeten dan bisa diandalkan. Akibatnya, masukan yang disampaikan tidak nyambung dengan permasalahan yang sebenarnya dan pembicaraan jadi memakan waktu terlalu lama padahal hasil pembicaraannya tidak banyak membantu menyelesaikan masalah.
Di satu sisi saya sebagai yang mengangkat masalah boleh jadi disalahkan karena tidak bisa berkomunikasi secara efektif dengan singkat dan padat tetapi bisa langsung membuat pendengar memahami inti masalah. Tetapi dalam pekerjaan, sudah sewajarnya mereka yang lebih junior cenderung kurang terlatih untuk berkomunikasi efektif, ataupun mungkin terpaksa tidak bisa karena perasaan segan atau tidak enak untuk menyampaikan masalah dengan gamblang. Pendengar yang baik apalagi bila posisinya lebih senior harusnya menyadari bahwa justru para junior inilah yang harus ditolong, dibantu memecahkan masalahnya sambil pelan-pelan melatih mereka untuk lebih dewasa baik dalam hal mengomunikasikan ataupun mungkin untuk selanjutnya menyelesaikan masalah mereka sendiri.
Dari kasus ini kita bisa belajar, ketika kita memang belum yakin terhadap pokok permasalahan yang dibawa lawan bicara, atau kita merasakan gelagat bahwa pesan dari lawan bicara belum tertangkap sepenuhnya, kita harus kembali pada prinsip active listening yang justru aktivitas kuncinya adalah bagaimana bisa merespon dengan probing question yang tepat untuk mengidentifikasi masalah terlebih dahulu. Mencecar lawan bicara dengan solusi yang tidak tepat justru akan membuat mereka tidak nyaman. Bahkan kita sering mendengar juga bahwa orang yang ada dalam masalah terkadang hanya ingin didengarkan, dan dengan kita memberikan atensi penuh ketika mendengarkan bahkan menanyakan pertanyaan yang relevan, bukan tidak jarang orang yang memiliki masalah menjadi lebih nyaman dan percaya dirinya meningkat sehingga ia bisa menyelesaikan masalahnya sendiri bahkan tanpa diberi saran sama sekali.
---
Pada akhirnya mendengarkan (listening apalagi active listening) membutuhkan fokus yang tinggi dan menghabiskan energi yang besar dari sang pendengar. Ada baiknya ketika kita menyadari bahwa rekan kita membutuhkan bantuan untuk didengarkan, kita mengondisikan diri kita untuk pembicaraan tersebut. Bila memungkinkan cari waktu dimana kita bisa rileks atau kalaupun kebutuhannya mendesak, sebaiknya kita mengondisikan diri dan menetralkan pikiran terlebih dahulu dengan cara-cara sederhana yang biasa kita lakukan seperti menarik nafas, berjalan-jalan, atau meminum teh.
Selamat menjadi pendengar yang baik :)
Komentar
Posting Komentar