Apakah Memberantas Hoax Adalah Perang yang Tidak Akan Pernah Berakhir?
Pertanyaan ini timbul setelah saya membaca riset yang dipublikasikan oleh Tom Buchanan dari Centre for Research and Evidence on Security Threats (CREST), sebuah institusi asal UK yang fokus pada penelitian terkait ancaman keamanan dengan berlandaskan ilmu perilaku dan ilmu sosial.
Dalam riset ini, dipelajari faktor apa saja yang dapat memperbesar kemungkinan "resipien" menyebarkan suatu "pesan" yang merupakan disinformasi. Pengertian disinformasi adalah informasi palsu yang sengaja disebarkan untuk menipu.
Faktor-faktor yang diuji korelasinya terkait "resipien" calon penyebar disinformasi adalah sebagai berikut:
- Literasi terhadap media digital
- Kepribadian
- Variabel demografik
Sementara faktor-faktor yang diuji korelasinya terkait "pesan" yang dilihat oleh calon penyebar disinformasi adalah sebagai berikut:
- Kredibilitas sumber informasi
- Familiaritas dengan informasi (resipien merasa sering melihat informasi tersebut)
- Indikator konsensus (resipien merasa 'mayoritas orang lain sepakat' dengan isi informasi tersebut)
- Konsistensi informasi dengan apa yang sudah lebih dahulu diyakini oleh resipien (resipien merasa setuju dengan opini pada informasi tersebut)
Setelah diadakan penelitian terhadap 2600 partisipan dengan menggunakan 4 studi kasus yang memanfaatkan platform media sosial Facebook, Twitter, dan Instagram, maka didapatkan poin-poin penting berikut ini:
Dari sisi atribut "pesan"
- Kredibel atau tidaknya sumber informasi tidak mempengaruhi motivasi resipien dalam menyebarkan informasi
- Indikator konsensus seperti banyaknya like dan comment pada suatu post berisi informasi juga tidak mempengaruhi motivasi resipien dalam menyebarkan informasi
- Jadi atribut "pesan" yang mempengaruhi motivasi resipien dalam menyebarkan informasi adalah: familiaritas informasi dan konsistensi informasi terhadap apa yang sudah lebih dahulu diyakini oleh resipien
Dari sisi atribut "resipien"
- Penyebaran disinformasi sebenarnya adalah perilaku minoritas, diperkirakan proporsinya hanya sekitar 10%
- Sejauh ini faktor kepribadian dan variabel demografik resipien belum dapat dibuktikan relevan sebagai faktor yang mempengaruhi kemungkinan penyebaran disinformasi
- Tendensi menyebarkan disinformasi bukan dikarenakan rendahnya literasi digital dari "resipien" seperti yang dipercaya selama ini, malahan ada indikasi orang dengan literasi digital lebih tinggilah yang lebih cenderung menyebarkan disinformasi, dengan sengaja
Jadi ilustrasi proses penyebaran disinformasi yang logis berdasarkan temuan di atas adalah sebagai berikut:
Suatu 'kepentingan' bertemu dengan orang-orang dengan literasi digital yang tinggi. Orang-orang ini mampu menyebarkan disinformasi dengan teknik optimasi tertentu sehingga meningkatkan familiaritas orang-orang terhadap informasi itu, misalnya saja dengan memanfaatkan selebritis (karena kredibilitas tidak penting, yang penting pengikutnya banyak). Mereka juga awalnya memfokuskan target pada kelompok orang-orang yang sependapat dengan ide dari disinformasi yang disampaikan yang sejak awal punya tendensi besar membuat berita makin tersebar.
Di satu titik, pesan akan sampai kepada pihak yang kontra dengan isi dari disinformasi, tetapi karena pesannya sudah terlanjur viral (familiar), mereka tetap percaya dengan isinya dan besar kemungkinan ikut menyebarkan walaupun ditambahkan caption opini yang menentang. Hal ini tidak masalah karena tujuan awalnya dari pemilik 'kepentingan' memang adalah menyebarkan disinformasi, dan dengan menjadikan disinformasi sebagai topik perdebatan justru dapat mempercepat penyebarannya.
Dari ilustrasi tersebut, di luar langkah-langkah seperti penegakan hukum dan menggandeng penyelenggara platform yang keterjangkauannya tentu masih sangat kecil bila dibandingkan dengan keterjangkauan penyebaran disinformasi, apakah langkah edukasi yang ada saat ini yakni dengan mengimbau masyarakat untuk: mengecek dulu kredibilitas informasi, kroscek dengan fakta, ataupun mencermati keaslian foto akan efektif untuk melawan penyebaran disinformasi?
Bentuk-bentuk edukasi seperti di atas yang bersifat meningkatkan literasi memang bisa efektif kepada jenis hoax lainnya yaitu misinformasi, yang kesalahannya bukan karena disengaja.
Tetapi bagaimana dengan disinformasi atau berita palsu yang sengaja dibuat untuk disebarkan? Bisa jadi ada pengaruhnya juga tetapi mungkin akan kecil sekali.
Karena seperti telah disebutkan, salah satu motivasi yang mendasari seseorang menyebarkan sebuah pesan adalah karena pesan itu sesuai dengan keyakinannya, dengan kata lain menyebarkan pesan dapat mendukung 'kepentingan' orang tersebut agar dapat terwujud. Bukan karena ia tidak bisa membedakan mana informasi yang benar dan salah.
Jadi dengan asumsi bahwa 'kepentingan' ada yang bersifat baik dan ada yang buruk, kita kembali lagi pada pertanyaan bagaimana caranya memastikan agar setiap 'kepentingan' yang dimiliki orang tidak membahayakan 'kepentingan' orang lain atau malah 'kepentingan' yang lebih besar? Ujung-ujungnya permasalahan ini menyangkut moralitas manusia, dengan kompleksitas yang sangat tinggi dan proses penyelesaian yang berkepanjangan.
Oleh karena itu bisa dibilang fenomena hoax di social media dalam perjalanan panjang peradaban manusia hanya sebuah titik singgah saja, dimana ke depannya manusia masih akan terus berusaha mewujudkan 'kepentingan' mereka masing-masing dengan mengembangkan media dan cara yang baru, sesuai dengan perkembangan zaman.
Karena esensi penyebab penyebaran hoax yang merugikan adalah ego manusia, bukankah artinya menghancurkannya adalah proses yang tidak akan pernah selesai selama kemanusiaan masih ada dan berkembang?
---
Komentar
Posting Komentar